Kamis, 06 Juni 2019

Keluarga Yuwono Saroso Berduka:


TANTE KOO KIEM SING
PEREMPUAN TERKASIH
MENINGGAL DUNIA

Ir. Yuwono Saroso, MM., M.MPar, Presdir  Tristar Institute Group sedang berduka. Tante ke 13,  Koo Kiem Sing (Sriwahyuni Herpratiwi) meninggal dunia. Rest In Peace Tante Sing.


Kabar duka itu saya terima lewat  WhatsApp, Kamis 6 Mei 3019 pukul 10:51 Wib.  “Tante Sing Meninggal dunia pagi tadi di Jakarta. Jenazahnya akan dikremasi di Tulungagung”.  Sosok Tante Sing di mata Yuwono sangat istimewa. Perempuan yang pernah mengasuhnya ketika masih kecil.

“Ketika saya masih kecil di Surabaya, saya pernah diasuh  oleh Tante Sing.  Suka memberi uang jajan. Tante Sing tau persis perkembangan hidup saya karena kami tinggal bertetangga. Tante tinggal di Pandegiling 167-E, Papa Mama kontrak rumah kecil di Pandegiling 169-X,” ungkap Yuwono.

Suatu saat, saya ketemu Tante Sing. Kemudian dia bercerita tentang  memori masa kecil Yuwono yang saat itu hidup dalam keluarga yang sangat miskin. Cerita  dari Tante Sing  tersebut saya sajikan dengan gaya bertutur berikut ini:
 

Kami ini keluarga besar. Semuanya ada 18 bersaudara. Koo Kiem Hian, ibu kandungnya Juwono itu, anak nomor 9. Saya ini anak urutan ke 13.

Papanya Juwono, Pek khe Eng  dulunya orang kaya di Tulungagung. Punya toko baju yang besar dan peternakan babi yang besar  di Kecamatan Ngunut, sekitar 15 kilo meter dari Tulungagung. Jumlah ternak babinya ada ribuan ekor. Pokoknya sangat kaya. Hidupnya enak.

Keadaan kemudian berubah. Peternakan babinya bangkrut. Yang saya dengar sih, ternak-ternaknya itu diangkut pakai truk tetapi tidak dibayar. Bayangkan, satu truk itu bisa muat berapa ekor babi ya? Bisa belasan atau puluhan ekor. Itu bukan sekali, tapi berkali-kali terjadi.  Lama-lama bangkrut.
 

Karena bangkrut, mereka pindah ke Surabaya. Hidupnya susah banget. Tinggal di rumah kontrak di Pandegiling, hanya beberapa meter dari rumah saya. Rumah kecil itu  sekaligus dijadikan tempat usaha obras. Mereka tinggal berlima. Papanya, Mamanya dan tiga anaknya. Termasuk Juwono itu.

Saya prihatin melihat kehidupan mereka. Gak punya apa-apa. Untuk makan saja susah. Kadang saya lihat sendiri mereka itu hanya  bisa beli roti sisa atau orang Jawa bilang “roti balen” (balen (Jawa)  = kembali) yang sudah tidak laku dijual. Roti yang  sudah kadaluarsa  dan mulai keluar jamurnya. Biasanya, roti  seperti itu  diborong  orang untuk makanan hewan piaraan. Tapi mereka membeli untuk dimakan sendiri. 
 

Untungnya, roti jaman dulu, walau jamuran masih aman untuk dimakan. Bahan rotinya masih murni. Tidak ada campuran zat berbahaya. Beda dengan  roti jaman sekarang,  ‘roti jaman now’ kata anak-anak muda,  yang   sudah kadaluarsa apalagi sudah keluar jamurnya, sangat berbahaya karena  banyak campuran bahan kimianya.

Saat itu Juwono baru berusia sekitar 9 tahun. Tubuhnya kurus, pendiam dan pembawaannya kalem. Cara bicaranya halus tapi tidak pemalu.  Sampai sekarang pembawaan dia itu halus dan kalem.  Anak sekecil itu sudah harus membantu orangtua untuk cari uang. Dia ikut jualan kue keliling kampung bersama Mamanya. Menitip kue-kue ke pedagang di dalam kampung. Itu dilakukan setiap hari tanpa mengeluh.

Juwono selalu cerita pada orang-orang bahwa saya ini sering beri  dia uang untuk bayar biaya sekolah. Padahal, saya sama sekali tidak ingat itu.. Mungkin benar mungkin juga  tidak. Yang masih saya ingat, dia pernah mau potong rambut tapi gak punya uang. Lalu saya mencukurnya. Jaman itu serba sulit. Saya bekerja di Kimia Farma  sambil kuliah di  Farmasi Ubaya. Tidak selesai juga karena tidak kuat bayar biaya kuliah. Hanya bertahan sampai semester 7 saja.


Beli Alat Musik

Bertahun-tahun mereka hidup dalam keadaan miskin. Beruntung, Papanya yang pernah jadi orang kaya, mau menjadi tukang obras yang ongkosnya recehan. Sementara Mamanya tekun menjajakan kue dibantu Juwono.

Suatu hari, saya tidak ingat tahun berapa, kakak saya itu membeli organ. Waktu itu dia sudah pindah dari rumah kontrakan pertama yang sempit ke rumah yang cukup luas. Lokasinya ya tetap di Pandegiling itu. Tapi ekonominya masih morat-marit. Masih serba kekurangan. Tapi dia membeli alat musik.

Saya sih maklum karena dalam keluarga besar, hampir semuanya suka musik. Di rumah kami di Tulungagung dulu, ada alat musik lengkap. Dari 18 bersaudara itu, kakak saya dari nomor 1 sampai anak nomor 12 bisa main musik. Saya anak yang ke 13 dan adik-adik saya tidak sempat belajar main musik. 
 

Saya tidak mau berburuk sangka soal organ tadi. Tidak ikut berkomentar karena saya yakin kakak saya itu punya program lain untuk anak-anaknya. Tapi saudara yang lain? Saya tidak usah menyebutkan namanya, justru ngomel-ngomel.

“Sok kaya padahal tidak punya apa-apa. Masih kere. Untuk makan saja kurang. Lha kok malah beli organ,” Masih banyak kalimat yang bikin panas telinga.  Terbukti, Juwono jadi pandai main organ dan dengan kemampuannya itu, dia bisa membiayai sekolah sampai perguruan tinggi tanpa tergantung pada orangtuanya. Hebat kan? Tadinya seperti buang-buang uang untuk beli organ, ternyata sangat bermanfaat.
 

Hal lain yang pantas dibanggakan dari Juwono itu, sangat patuh, taat dan sayang pada kedua orangtuanya. Dia eling (ingat) pada orangtua, tetap  mengabdi pada Papa dan Mamanya. Juwono tidak mau jadi anak kualat.

Sukses tidak membuat dia membusungkan dada. Tidak lantas jadi orang yang sombong. Tetap kalem dan sabar. Istrinya juga punya sifat yang sama. Pasangan yang penyabar. Kadang saya gregetan melihat kesabaran mereka itu. Maksud saya, pegawainya kalau bicara tidak seperti  berhadapan dengan bosnya. Nadanya agak kasar. Tidak pantas. 
 

Menghadapi pegawainya yang seperti itu, pasangan Juwono dan istrinya diam saja. Tidak marah juga. Mungkin prinsip dia, pegawai itu adalah keluarga. Mereka menghadapi dengan sikap yang kalem, sabar dan sopan.  Dia memang luar biasa.  ***