Ir. Yuwono Saroso, MM., M.MPar,
Presdir Tristar Institute Group sedang
berduka. Tante ke 13, Koo Kiem Sing
(Sriwahyuni Herpratiwi) meninggal dunia. Rest
In Peace Tante Sing.
Kabar duka itu saya
terima lewat WhatsApp, Kamis 6 Mei 3019 pukul 10:51 Wib. “Tante Sing Meninggal dunia pagi tadi di Jakarta. Jenazahnya akan
dikremasi di Tulungagung”. Sosok
Tante Sing di mata Yuwono sangat istimewa. Perempuan yang pernah mengasuhnya
ketika masih kecil.
“Ketika saya masih kecil di Surabaya,
saya pernah diasuh oleh Tante Sing. Suka memberi uang jajan. Tante Sing tau persis perkembangan hidup saya karena kami tinggal bertetangga. Tante tinggal di Pandegiling 167-E, Papa Mama kontrak rumah kecil di Pandegiling 169-X,” ungkap Yuwono.
Suatu saat, saya ketemu
Tante Sing. Kemudian dia bercerita tentang
memori masa kecil Yuwono yang saat itu hidup dalam keluarga yang sangat
miskin. Cerita dari Tante Sing tersebut saya sajikan dengan gaya bertutur
berikut ini:
Kami ini keluarga besar. Semuanya ada 18 bersaudara. Koo Kiem Hian, ibu kandungnya Juwono itu, anak nomor 9. Saya ini anak urutan ke 13.
Papanya
Juwono, Pek khe Eng dulunya orang kaya di Tulungagung. Punya toko
baju yang besar dan peternakan babi yang besar
di Kecamatan Ngunut, sekitar 15 kilo meter dari Tulungagung. Jumlah
ternak babinya ada ribuan ekor. Pokoknya sangat kaya. Hidupnya enak.
Keadaan
kemudian berubah. Peternakan babinya bangkrut. Yang saya dengar sih,
ternak-ternaknya itu diangkut pakai truk tetapi tidak dibayar. Bayangkan, satu
truk itu bisa muat berapa ekor babi ya? Bisa belasan atau puluhan ekor. Itu
bukan sekali, tapi berkali-kali terjadi.
Lama-lama bangkrut.
Karena
bangkrut, mereka pindah ke Surabaya. Hidupnya susah banget. Tinggal di rumah
kontrak di Pandegiling, hanya beberapa meter dari rumah saya. Rumah kecil
itu sekaligus dijadikan tempat usaha
obras. Mereka tinggal berlima. Papanya, Mamanya dan tiga anaknya. Termasuk
Juwono itu.
Saya
prihatin melihat kehidupan mereka. Gak punya apa-apa. Untuk makan saja susah.
Kadang saya lihat sendiri mereka itu hanya
bisa beli roti sisa atau orang Jawa bilang “roti balen” (balen (Jawa) = kembali) yang sudah tidak laku dijual. Roti
yang sudah kadaluarsa dan mulai keluar jamurnya. Biasanya,
roti seperti itu diborong
orang untuk makanan hewan piaraan. Tapi mereka membeli untuk dimakan
sendiri.
Untungnya,
roti jaman dulu, walau jamuran masih aman untuk dimakan. Bahan rotinya masih
murni. Tidak ada campuran zat berbahaya. Beda dengan roti jaman sekarang, ‘roti jaman now’ kata anak-anak muda, yang
sudah kadaluarsa apalagi sudah keluar jamurnya, sangat berbahaya
karena banyak campuran bahan kimianya.
Saat
itu Juwono baru berusia sekitar 9 tahun. Tubuhnya kurus, pendiam dan
pembawaannya kalem. Cara bicaranya halus tapi tidak pemalu. Sampai sekarang pembawaan dia itu halus dan
kalem. Anak sekecil itu sudah harus
membantu orangtua untuk cari uang. Dia ikut jualan kue keliling kampung bersama
Mamanya. Menitip kue-kue ke pedagang di dalam kampung. Itu dilakukan setiap
hari tanpa mengeluh.
Juwono
selalu cerita pada orang-orang bahwa saya ini sering beri dia uang untuk bayar biaya sekolah. Padahal,
saya sama sekali tidak ingat itu.. Mungkin benar mungkin juga tidak. Yang masih saya ingat, dia pernah mau
potong rambut tapi gak punya uang. Lalu saya mencukurnya. Jaman itu serba
sulit. Saya bekerja di Kimia Farma
sambil kuliah di Farmasi Ubaya.
Tidak selesai juga karena tidak kuat bayar biaya kuliah. Hanya bertahan sampai
semester 7 saja.
Beli
Alat Musik
Bertahun-tahun
mereka hidup dalam keadaan miskin. Beruntung, Papanya yang pernah jadi orang
kaya, mau menjadi tukang obras yang ongkosnya recehan. Sementara Mamanya tekun
menjajakan kue dibantu Juwono.
Suatu
hari, saya tidak ingat tahun berapa, kakak saya itu membeli organ. Waktu itu
dia sudah pindah dari rumah kontrakan pertama yang sempit ke rumah yang cukup
luas. Lokasinya ya tetap di Pandegiling itu. Tapi ekonominya masih morat-marit.
Masih serba kekurangan. Tapi dia membeli alat musik.
Saya
sih maklum karena dalam keluarga besar, hampir semuanya suka musik. Di rumah
kami di Tulungagung dulu, ada alat musik lengkap. Dari 18 bersaudara itu,
kakak saya dari nomor 1 sampai anak nomor 12 bisa main musik. Saya anak yang ke
13 dan adik-adik saya tidak sempat belajar main musik.
Saya
tidak mau berburuk sangka soal organ tadi. Tidak ikut berkomentar karena saya
yakin kakak saya itu punya program lain untuk anak-anaknya. Tapi saudara yang
lain? Saya tidak usah menyebutkan namanya, justru ngomel-ngomel.
“Sok
kaya padahal tidak punya apa-apa. Masih kere. Untuk makan saja kurang. Lha kok
malah beli organ,” Masih banyak kalimat yang bikin panas telinga. Terbukti, Juwono jadi pandai main organ dan
dengan kemampuannya itu, dia bisa membiayai sekolah sampai perguruan tinggi
tanpa tergantung pada orangtuanya. Hebat kan? Tadinya seperti buang-buang uang
untuk beli organ, ternyata sangat bermanfaat.
Hal
lain yang pantas dibanggakan dari Juwono itu, sangat patuh, taat dan sayang pada
kedua orangtuanya. Dia eling (ingat) pada orangtua, tetap mengabdi pada Papa dan Mamanya. Juwono tidak
mau jadi anak kualat.
Sukses
tidak membuat dia membusungkan dada. Tidak lantas jadi orang yang sombong.
Tetap kalem dan sabar. Istrinya juga punya sifat yang sama. Pasangan yang
penyabar. Kadang saya gregetan melihat kesabaran mereka itu. Maksud saya,
pegawainya kalau bicara tidak seperti
berhadapan dengan bosnya. Nadanya agak kasar. Tidak pantas.
Menghadapi pegawainya yang seperti
itu, pasangan Juwono dan istrinya diam saja. Tidak marah juga. Mungkin prinsip
dia, pegawai itu adalah keluarga. Mereka menghadapi dengan sikap yang kalem,
sabar dan sopan. Dia memang luar biasa. ***